Apa
yang terbayang pada kita saat mengetahui keterampilan berbahasa seseorang?
Tentu kemampuan berpikir orang tersebut. Keterampilan berbahasa mencakup empat
hal: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Meskipun demikian, keempat
keterampilan tersebut pada dasarnya saling berkaitan. Adapun yang penting untuk
selalu kita ingat, keterampilan berbahasa seseorang tidak diperoleh begitu saja.
Sembilan tahun lalu, saat masih menempuh studi pada
Program Akta Mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Mamba’ul ‘Ulum Surakarta,
saya pertama kali mengenal kalimat Man jadda wajada.
Kalimat tersebut berarti Siapa saja yang
bersungguh-sungguh akan berhasil. Senada dengan kalimat tersebut, seseorang
akan terampil dalam berbahasa jika ia tidak putus-putusnya berlatih.
Saat kecil kita belajar menyimak dan berbicara.
Selanjutnya, kita belajar membaca dan menulis. Hal itu menunjukkan bahwa
keterampilan kita dalam menggunakan bahasa mengalami perkembangan dengan
teratur. Pada usia seperti saat ini, keterampilan berbahasa kita semakin
berkembang seiring kesibukan kita dalam pendidikan, bermasyarakat, dan bekerja.
Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang
menarik untuk dibicarakan. Keterampilan menulis harus dikuasai peserta didik
pada pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. Tentu
harus lebih kita kuasai karena kita sudah melewati tiga jenjang pendidikan tersebut.
Boleh dikatakan, keterampilan menulis sepatutnya dikuasai para akademisi.
Lewat menulis, kita dapat mengekspresikan gagasan,
maksud, perasaan, dan sebagainya dalam bentuk tulisan. Meskipun demikian,
keterampilan menulis membutuhkan daya pikir dan daya cipta yang dipengaruhi
keluasan pengetahuan seseorang. Kita harus banyak menyimak, membaca, dan
senantiasa praktik.
Ya, jika hanya mengandalkan banyak praktik menulis tanpa
memperluas pengetahuan, tentu kita akan menjadi penulis yang kurang bijaksana.
Kita juga harus memperluas pengetahuan melalui pengalaman menyimak dan membaca
yang tiada terputus. Rasûlullâh ﷺ bersabda yang artinya “Bersemangatlah kalian pada apa yang bermanfaat bagi
kalian, mintalah pertolongan Allâh dan jangan malas!” (H.R. Bukhârî dan
Muslim). Oleh karena itu, tidak selayaknya kita malas menyimak dan membaca
sebagai upaya menimba ilmu. Itulah bekal kita dalam menulis. Boleh dikatakan,
bekal nikmat yang membuahkan ilmu yang lezat.
Jika kita berkunjung ke toko buku–Arafah, misalnya–kita
akan menyadari bahwa menulis merupakan kebiasaan ulama. Kita akan menjumpai
banyaknya buku yang ditulis para ulama: Imâm Bukhârî (196–256 H), Imâm
an-Nawawi (631–676 H), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691–751 H), Syaikh Muhammad
bin Shâlih al-‘Utsaimîn (1347–1421 H), Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya
Hamka (1362–1401 H), ‘Aidh al-Qarni (1379 H), dan sebagainya. Kita pun akan
memahami bahwa menulis dapat dijadikan sebagai sarana dakwah yang mampu
menyegarkan jiwa penulisnya maupun pembacanya.
Adapun guru, tidak sedikit yang hidupnya semakin berwarna
dengan menulis. Sebagai contoh, Habiburrahman El Shirazy yang sangat dikenal
dalam dunia sastra Islam dan saat ini menjadi dosen di STIQ An Nur
Yogyakarta, dahulu adalah guru di MAN 1 Yogyakarta. Kita pun bisa menemukan
guru-guru yang artikelnya banyak menghiasi media cetak maupun digital.
Kementerian Pendidikan Indonesia melalui Peraturan Nomor 35 Tahun 2010 juga
menganjurkan guru untuk memiliki karya tulis ilmiah yang dipublikasikan kepada
masyarakat.
Berkenaan itu, saya masih menyimpan sebuah buku yang saya
miliki sejak duduk pada bangku SLTP. Berdasarkan nama-nama yang menghiasi buku
tersebut, tampak bahwa buku itu turun-temurun dari saudara misan saya, kakak
kandung saya, lantas saya. Kami menempuh studi pada SLTP yang berbeda. Hal yang
membanggakan adalah buku itu ditulis oleh Elha Simbolon Parna, guru Bahasa
Indonesia saya di SLTP Negeri 19 Surakarta. Buku itu sangat bermanfaat bagi saya saat itu
dan sampai saat ini.
Nah, apalagi yang kita tunggu, wahai, guru? Lapangkanlah waktu! Mulailah menulis dan
biasakanlah!
(Artikel ini
saya kirimkan ke http://ar-risalah.org pada tanggal 4 Mei 2017 dan
dipublikasikan pada tanggal yang sama [http://ar-risalah.org/wahai-guru-menulislah/].)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkata yang baik atau hendaklah diam (H.R. Bukhârî dan Muslim).