Copyright By Dhaniar Retno Wulandari | Powered by Blogger

Rabu, 07 Oktober 2020

Menghalau Kesedihan, Menggapai Kebahagiaan

Allâhumma innî a’ûdzubika minal-hammi wal-hazani, wal-‘ajzi wal-kasali, wal-jubni wal-bukhli, wa dhala’id-daini wa ghalabatir-rijâli (HR. Bukhârî). Itu adalah doa yang harus saya hafal ketika pertama kali diamanahi sebagai wali kelas sekitar delapan tahun lalu. Saya harus mengajarkannya kepada murid-murid berikut artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sedih dan cemas, lemah dan malas, penakut dan bakhil, serta beban utang dan penindasan orang.”

Doa itu adalah “Doa Penawar Hati”. Ada yang menyebutnya “Doa agar Terbebas dari Utang”. Ada pula yang menyebutnya “Doa Dirundung Kesedihan”. Dalam bonus majalah Ar-Risalah (Melecut Jiwa, Menuju Takwa) Edisi 207, doa tersebut ditandai sebagai “Doa Anti Galau”.

Syaikh Abdur-Rahman bin Nâshir as-Sa’dî dalam buku 8 Nasihat Berharga Meraih Hidup Bahagia mengemukakan bahwa tidak ada lagi kesedihan dalam kehidupan adalah harapan setiap insan. Dengan itulah, kebahagiaan dapat digapai. Kebahagiaan yang dimaksud tentu yang sejalan dengan syariat Islam.

Berdasarkan surah an-Nahl (16) ayat 97 dan sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Syaikh Abdur-Rahman bin Nâshir as-Sa’dî mengemukakan bahwa orang yang beriman mampu menyambut kebahagiaan dengan penuh syukur dan mengatasi kesusahan dengan kesabaran. Dalam kesabarannya tersebut, ada pengharapan terhadap karunia dan pahala dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Itulah yang membuat kesusahannya tidak lagi terasa dan hanya kebahagiaan yang dirasa.

Sebaliknya, orang yang tidak beriman menyambut karunia dengan loba dan menyambut musibah dengan gundah. Dia merasa kurang dengan nikmat yang telah didapat. Dia juga merasa khawatir jika nikmat itu menyingkir. Jika ada sesuatu yang menghadang dalam kehidupannya, hatinya mudah galau dan pikirannya mudah kacau.

Itu menunjukkan bahwa kunci utama meraih kebahagiaan adalah beriman kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Tanpa iman, kebahagiaan yang dirasa tidak sempurna. Tanpa iman, kebahagiaan yang diterima tidak menenangkan jiwa.

Saya bersyukur bisa menikmati 8 Nasihat Berharga Meraih Hidup Bahagia karya Syaikh Abdur-Rahman bin Nâshir as-Sa’dî. Itulah buku saku yang sarat mutiara. Tim Darul Haq telah menyajikannya dalam bahasa Indonesia dari Al-Wasâ’il Al-Mufîdah Lil-Hayâti As-Sa’îdah terbitan Darul Wathan. Silakan membacanya. Semoga bahagia.

Boyolali, 23 Maret 2020

 

Artikel ini telah dipublikasikan dalam majalah Ar-Royyan Edisi 58 (Ar-Risalah Peduli, April 2020) pada rubrik Bicara Buku.

Selasa, 08 September 2020

Pedoman Praktis Menuntut Ilmu

Thalabul-‘ilmi farîdhatun ‘alâ kulli muslimin. Itu adalah hadis yang saya kenal sejak masih duduk pada bangku sekolah dasar. Artinya, menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim. Muslim yang dimaksud adalah muslim laki-laki maupun muslim perempuan.

Dr. ‘Aidh ibn Abdullah al-Qarni dalam penutup Menjadi Pelajar Berprestasi: Pengalaman Para Ulama Besar (2015) menaruh salam hormat kepada para penuntut ilmu. Beliau mendoakan mereka agar selalu mendapat taufik dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Âmîn.

Menjadi Pelajar Berprestasi: Pengalaman Para Ulama Besar merupakan hasil terjemahan Yodi Indrayadi dari Kaifa Tathlubu al-‘Ilma yang diterbitkan Maktabah al-Obeikan (Riyadh). Buku yang diterjemahkan Yodi Indrayadi tersebut diterbitkan oleh Qisthi Press pada tahun 2006. Namun, buku yang ada di tangan saya merupakan cetakan ketujuh belas (Juni 2015). Mâsyâ Allâh. Agaknya buku tersebut terbit setelah Jangan Bersedih: Jadilah Wanita yang Paling Bahagia karya ‘Aidh al-Qarni yang saya baca tuntas saat masih menempuh studi S-1.

Menjadi Pelajar Berprestasi: Pengalaman Para Ulama Besar merupakan pedoman praktis untuk para penuntut ilmu. Di dalamnya ada lima puluh halaman yang memuat 82 hal yang bisa dikerjakan para penuntut ilmu sehingga keselamatan dan keberkahan mewarnai kehidupannya. Hal itu dimulai dengan daftar kitab yang harus dihafal selain Al-Qur’an, yaitu Bulûghu al-Marâm, Riyâdhu ash-Shâlihin, dan empat kitab lainnya. Beliau melengkapi bahwa hafalan akan sangat terbantu dengan ketakwaan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ (hal ke-46).

‘Aidh al-Qarni menekankan, hendaknya kita menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai patokan ilmu (hal ke-17). Adapun memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman para sahabat dan salafu al-shâlih adalah syarat mutlak (hal ke-69). Beliau juga membagi petunjuk praktis menghafal Al-Qur’an (hal ke-27). Petunjuk pertama adalah niat mencari ridha Allah, adapun petunjuk terakhir adalah membaca tafsir sesuai hafalan. Berkenaan itu, beliau telah menyarankan Tafsîr Ibn Katsîr menjadi salah satu buku wajib di perpustakaan seorang penuntut ilmu (hal ke-2). Beliau mengemukakan bahwa tafsir, fikih, dan hadis merupakan tiga ilmu utama yang hendaknya dibaca dan dikaji (hal ke-53). Selain Tafsîr Ibn Katsîr, beliau juga menyarankan Tafsîr al-Qurthubi (hal ke-71).

Beliau mengingatkan tentang penyakit hati yang bisa menghinakan dan membinasakan para penuntut ilmu (hal ke-20). Penyakit hati itu, antara lain, riya’, dengki, dan takabur. Obat ketiga penyakit hati tersebut, yaitu ikhlas, meminta perlindungan kepada Allah, dan rendah hati.

Demikian kandungan ringkas buku Menjadi Pelajar Berprestasi: Pengalaman Para Ulama Besar. Buku tipis yang bisa masuk saku, tetapi kaya pedoman praktis bagi para penuntut ilmu. Saat saya telah membacanya secara tuntas, saya merasa belum puas. Saya pun mengulangnya dan saya merasa lebih bahagia. Ya, petualangan mencari ilmu memang membahagiakan.

Boyolali, 22 Februari 2020

 

Artikel ini telah dipublikasikan dalam majalah Ar-Royyan Edisi 57 (Ar-Risalah Peduli, Maret 2020) pada rubrik Bicara Buku.

 

Sabtu, 08 Agustus 2020

Untaian Nasihat agar Selamat dalam Ayyuhal Walad

Assalâmu’alaikum, Ibu dan Ayah. Mulai Januari 2020 ini rubrik Literasi berganti Bicara Buku, ya. Nah, buku pertama yang saya bicarakan adalah Ayyuhal Walad karya Abu Hamid al-Ghazali.

Abu Hamid al-Ghazali dikenal dengan Imam Ghazali. Beliau adalah seorang cendekiawan Islam yang lahir pada tahun 1058 M dan wafat pada tahun 1111 M. Pemikirannya telah dikenal di antero dunia Islam.

Ayyuhal Walad versi terjemahan bahasa Indonesia adalah buku parenting yang pertama saya miliki. Buku itu diterbitkan oleh Gema Insani Press pada Februari 1991. Namun, milik saya merupakan cetakan ketiga, Desember 1991. Saya berterima kasih kepada kakak saya–Asmara Dhalia Trijayanti, S.Sn.–yang telah memberikan buku itu kepada saya pada tahun 2001. Sungguh, buku itu sangat berfaedah bagi saya.

A. Mudjab Mahali menerjemahkan Ayyuhal Walad dari terbitan Mathba’ah Al-Ma’arif (Baghdad, 1968) menjadi Kepada Anakku Dekati Tuhanmu. Melalui penelusuran di mesin Google, saya memperoleh informasi bahwa buku itu mengalami cetakan kedelapan belas pada Maret 2005. Mâsyâ Allâh.

Kepada Anakku Dekati Tuhanmu merupakan buku kecil dengan ukuran 18 x 12 cm. Ketebalannya tidak lebih dari enam puluh halaman sehingga tidak butuh waktu lama untuk menuntaskannya. Namun, biasanya saya ingin membacanya lagi dan lagi, keseluruhan maupun sebagian sesuai kebutuhan. Ya, buku kecil itu sarat nasihat yang sangat bermanfaat, nasihat yang relevan dengan kehidupan harian. Berkenaan nasihat, Imam Ghazali mengemukakan bahwa nasihat itu mudah, yang susah adalah menerimanya.

Kekhasan buku itu adalah pengulangan seruan–yang menyiratkan kehalusan budi pekerti–sejak pembukaan hingga penutup. Seruan tersebut adalah “Wahai, anakku". Senada dengan judulnya, bukan?

Melalui buku My Dear Beloved Son or Daughter, saya memperoleh informasi bahwa yang dimaksud “anakku” adalah salah satu murid Imam Ghazali. Dikemukakan bahwa murid Imam Ghazali tersebut terus berpikir tentang cabang ilmu yang akan menerangi kuburnya dan bermanfaat baginya pada hari Pengadilan. Murid Imam Ghazali pun menulis surat kepada Imam Ghazali dan meminta beberapa nasihat yang dapat selalu dipelajarinya. Imam Ghazali membalas surat itu hingga lahirlah Ayyuhal Walad.

My Dear Beloved Son or Daughter merupakan hasil terjemahan Ayyuhal Walad yang dipublikasikan Dar-al Isha’at (Pakistan). Irfan Hasan menerjemahkan ke bahasa Inggris dan dipublikasikan pada tahun 2014. Ketebalannya tidak lebih dari tiga puluh halaman dan daftar isinya mencakup 25 judul, yaitu “Introduction of the Book” dan 24 puluh judul anjuran penuh kebijaksanaan. Berbeda dengan Kepada Anakku Dekati Tuhanmu, terjemahan oleh A. Mudjab Mahali tersebut hanya mengandung dua judul pada daftar isinya, yaitu “Pengantar” dan “Nasihat Orang Tua kepada Anak”.

Sebelum menguraikan nasihat untuk muridnya, Imam Ghazali berdoa, semoga Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberi umur panjang kepadamu untuk taat kepada-Nya dan membimbingmu ke jalan orang-orang yang dicintai-Nya. Saya sebagai pribadi tersentil dengan nasihat berikut, “Wahai, anakku, bila perjalanan malammu hanya kamu lewati dengan menelaah ilmu pengetahuan, membaca buku, dan berdiskusi, amat menyedihkan nasib dirimu!” Imam Ghazali menegaskan, bila motivasimu ingin menghidupkan syariat dan misi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, berbahagialah dirimu! Sebagai pribadi juga, saya tertarik dengan syair-syair yang mengandung ajaran agama Islam di dalamnya, dan tentu dituturkan dengan menawan.

Nasihat di antara untaian nasihat yang sangat menyentuh adalah pelajarilah ilmu dunia untuk memperlancar perintah Allah serta pelajarilah ilmu akhirat yang dapat menyelamatkan dirimu dari mara bahaya dan siksa api neraka. Itu menunjukkan bahwa segala ilmu bermanfaat yang kita peroleh hendaknya diamalkan untuk mengantarkan keselamatan dunia dan akhirat. Imam Ghazali menutup untaian nasihatnya dengan tiga doa yang biasa diucapkan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ketiga doa tersebut hendaknya dibaca dalam setiap kesempatan, khususnya setelah shalat. Adapun dalam My Dear Beloved Son or Daughter, sebelum diuraikan ketiga doa tersebut, Imam Ghazali menuliskan agar muridnya menindaklanjuti untaian nasihatnya.

Demikian. Apakah Ibu dan Ayah tertarik dengan buku itu? Selamat menempuh petualangan mengasyikkan dalam mencarinya, ya! Selamat membaca dan selamat membaca berkali-kali!

Boyolali, 24 Desember 2019

 

Artikel ini telah dipublikasikan dalam majalah Ar-Royyan Edisi 55 (Ar-Risalah Peduli, Januari 2020) pada rubrik Bicara Buku.