“Buku adalah
jendela ilmu. Pintu ilmu adalah membaca.” Itulah tulisan yang saya baca tadi
pagi pada dinding sebuah sekolah dasar swasta Islam di Solo. Siapa yang pertama
kali mengemukakannya? Entah.
Saat itu
saya sedang mendampingi seorang murid untuk lomba baca puisi. Puisi (wajib)
yang akan dibaca murid saya berjudul “Krawang-Bekasi”. Qadarullâh, saya mempunyai sebuah buku yang mengandung puisi
tersebut. Tentu banyak yang tahu bahwa puisi itu terdapat dalam sebuah buku
kumpulan sajak karya penyair Indonesia bernama Chairil Anwar. Oh!
Saya jadi
ingat cerita indah tentang saya dan suami. Saat itu kami baru saja menikah.
Kami pun berbenah. Ternyata, kami memiliki dua buku yang sama, yaitu buku karya
Chairil Anwar dan William Shakespeare. Pada buku tertera bahwa suami saya
membeli buku Chairil Anwar tersebut pada tanggal 12 Januari 2003 dan saya
membeli pada tanggal 4 November 2003. Berarti, saya terlambat beberapa bulan
dibanding suami saya. Ah!
Kembali pada
tulisan tadi, “Buku adalah jendela ilmu. Pintu ilmu adalah membaca.” Saya
mempunyai sebuah buku kecil dan tipis berjudul Indahnya Kesabaran karya Abdullah Gymnastiar. Pada halaman lima
tertera bahwa buku tersebut jatuh di tangan saya pada tanggal 31 Mei 2006. Namun, saya benar-benar tidak ingat: Apakah saya membelinya atau mendapatkannya
secara cuma-cuma? Seingat saya, saat itu ada kajian dari Abdullah Gymnastiar di
Manahan, Solo. Wah!
Pada halaman
identitas tampak bahwa buku itu diterbitkan oleh Khas MQ pada bulan Oktober
2004 dan mengalami cetak ulang keempat pada bulan April 2006. Pada halaman
pendahuluan, Abdullah Gymnastiar mendoakan pembaca agar digolongkan sebagai
ahli sabar. Âmîn, yâ, Rabb. Abdullah
Gymnastiar menuliskan, “Innallaha
ma’ashabirin”. Saya pun mencari kalimat tersebut dalam Alquran. Saya
menemukannya dalam Alquran surah Al-Anfâl
(8)
ayat 46. Innallâha
ma’ashshâbirîn, artinya sesungguhnya Allah (Allâh) beserta orang-orang yang
sabar.
Abdullah
Gymnastiar mengatakan bahwa sesungguhnya kesabaran membuat daya tahan seseorang
menjadi luar biasa. Beliau mengutip terjemahan Alquran surah Âli ‘Imrân (3)
ayat 200. Saya pun membuka Syaamil Al-Qur’an Terjemah Tafsir Per Kata yang diterbitkan Sygma
Publishing. Tata bahasa terjemahannya hampir sama. Wahai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung! Begitulah jika saya tulis.
Terjemahan
tersebut mengingatkan saya pada peristiwa perang yang dialami Rasulullah (Rasûlullâh) shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Materi peristiwa perang tersebut
merupakan bagian dari mata pelajaran Sirah kelas V. Tahun pelajaran ini saya
menjadi salah satu pengampunya. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya karena telah
dipercaya mengajar Sirah. Ya, Allah, bimbinglah hamba!
Abdullah
Gymnastiar mengemukakan pada halaman terakhir bukunya bahwa sabar adalah
kegigihan kita untuk terus berada di jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Sungguh jika kita membaca buku tentang Sirah, Tarikh, atau Sejarah Kebudayaan Islam (SKI); kita akan terpesona
karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam benar-benar teladan kesabaran. Mâsyâ Allâh!
Nah! Sebagai Muslim, sudah sepantasnya kita meneladani Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam. Dalam hal ini
adalah meneladani kesabaran beliau shallallâhu
‘alaihi wa sallam. Kita harus terus berada di jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Kembali pada
tulisan tadi, “Buku adalah jendela ilmu. Pintu ilmu adalah membaca.” Maka,
bersabarlah membaca sebagai upaya menuntut ilmu! Bukankah menuntut ilmu
diwajibkan bagi Muslim sejak lahir sampai ke liang lahat?
(Artikel ini saya kirimkan ke http://ar-risalah.org pada
tanggal 27 Oktober 2017 dan dipublikasikan pada tanggal yang sama [http://ar-risalah.org/bersabarlah-membaca/].)