Copyright By Dhaniar Retno Wulandari | Powered by Blogger

Selasa, 05 Maret 2019

Wahai, Guru, Menulislah!

Apa yang terbayang pada kita saat mengetahui keterampilan berbahasa seseorang? Tentu kemampuan berpikir orang tersebut. Keterampilan berbahasa mencakup empat hal: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Meskipun demikian, keempat keterampilan tersebut pada dasarnya saling berkaitan. Adapun yang penting untuk selalu kita ingat, keterampilan berbahasa seseorang tidak diperoleh begitu saja.

Sembilan tahun lalu, saat masih menempuh studi pada Program Akta Mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Mamba’ul ‘Ulum Surakarta, saya pertama kali mengenal kalimat Man jadda wajada. Kalimat tersebut berarti Siapa saja yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Senada dengan kalimat tersebut, seseorang akan terampil dalam berbahasa jika ia tidak putus-putusnya berlatih.

Saat kecil kita belajar menyimak dan berbicara. Selanjutnya, kita belajar membaca dan menulis. Hal itu menunjukkan bahwa keterampilan kita dalam menggunakan bahasa mengalami perkembangan dengan teratur. Pada usia seperti saat ini, keterampilan berbahasa kita semakin berkembang seiring kesibukan kita dalam pendidikan, bermasyarakat, dan bekerja.

Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang menarik untuk dibicarakan. Keterampilan menulis harus dikuasai peserta didik pada pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. Tentu harus lebih kita kuasai karena kita sudah melewati tiga jenjang pendidikan tersebut. Boleh dikatakan, keterampilan menulis sepatutnya dikuasai para akademisi.

Lewat menulis, kita dapat mengekspresikan gagasan, maksud, perasaan, dan sebagainya dalam bentuk tulisan. Meskipun demikian, keterampilan menulis membutuhkan daya pikir dan daya cipta yang dipengaruhi keluasan pengetahuan seseorang. Kita harus banyak menyimak, membaca, dan senantiasa praktik.

Ya, jika hanya mengandalkan banyak praktik menulis tanpa memperluas pengetahuan, tentu kita akan menjadi penulis yang kurang bijaksana. Kita juga harus memperluas pengetahuan melalui pengalaman menyimak dan membaca yang tiada terputus. Rasûlullâh bersabda yang artinyaBersemangatlah kalian pada apa yang bermanfaat bagi kalian, mintalah pertolongan Allâh dan jangan malas!” (H.R. Bukhârî dan Muslim). Oleh karena itu, tidak selayaknya kita malas menyimak dan membaca sebagai upaya menimba ilmu. Itulah bekal kita dalam menulis. Boleh dikatakan, bekal nikmat yang membuahkan ilmu yang lezat.

Jika kita berkunjung ke toko buku–Arafah, misalnya–kita akan menyadari bahwa menulis merupakan kebiasaan ulama. Kita akan menjumpai banyaknya buku yang ditulis para ulama: Imâm Bukhârî (196–256 H), Imâm an-Nawawi (631–676 H), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691–751 H), Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn (1347–1421 H), Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (1362–1401 H), ‘Aidh al-Qarni (1379 H), dan sebagainya. Kita pun akan memahami bahwa menulis dapat dijadikan sebagai sarana dakwah yang mampu menyegarkan jiwa penulisnya maupun pembacanya.

Adapun guru, tidak sedikit yang hidupnya semakin berwarna dengan menulis. Sebagai contoh, Habiburrahman El Shirazy yang sangat dikenal dalam dunia sastra Islam dan  saat ini menjadi dosen di STIQ An Nur Yogyakarta, dahulu adalah guru di MAN 1 Yogyakarta. Kita pun bisa menemukan guru-guru yang artikelnya banyak menghiasi media cetak maupun digital. Kementerian Pendidikan Indonesia melalui Peraturan Nomor 35 Tahun 2010 juga menganjurkan guru untuk memiliki karya tulis ilmiah yang dipublikasikan kepada masyarakat.

Berkenaan itu, saya masih menyimpan sebuah buku yang saya miliki sejak duduk pada bangku SLTP. Berdasarkan nama-nama yang menghiasi buku tersebut, tampak bahwa buku itu turun-temurun dari saudara misan saya, kakak kandung saya, lantas saya. Kami menempuh studi pada SLTP yang berbeda. Hal yang membanggakan adalah buku itu ditulis oleh Elha Simbolon Parna, guru Bahasa Indonesia saya di SLTP Negeri 19 Surakarta. Buku itu sangat bermanfaat bagi saya saat itu dan sampai saat ini.

Nah, apalagi yang kita tunggu, wahai, guru? Lapangkanlah waktu! Mulailah menulis dan biasakanlah!


(Artikel ini saya kirimkan ke http://ar-risalah.org pada tanggal 4 Mei 2017 dan dipublikasikan pada tanggal yang sama [http://ar-risalah.org/wahai-guru-menulislah/].)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkata yang baik atau hendaklah diam (H.R. Bukhârî dan Muslim).